Posted by Administrator | Kategori: Umum

Stigma Caleg & Gangguan Jiwa

Dari sudut pandang kesehatan jiwa, fenomena dan berbagai opini tentang caleg dan sakit jiwa, khususnya berita tentang telah siapnya beberapa rumah sakit jiwa untuk menampung para caleg, sungguh sangat memprihatinkan. Opini yang berkembang sangat beraneka ragam, yang terakhir adalah sebuah opini di koran Republika pada 4 April 2009 yang menggambarkan betapa “hina”nya seseorang jika harus dirawat di rumah sakit jiwa. Penulis opini tersebut secara jelas mengungkapkan bahwa individu yang sakit jiwa dan dirawat adalah bagian dari patologi sosial dengan berbagai kesan negatif lainnya.

Jika kita menganalisis fenomena dan berbagai opini ini, jelas bahwa penyebabnya adalah adanya pemahaman yang keliru /stigma terhadap individu yang menderita gangguan jiwa. Fenomena ini menambah deretan panjang permasalahan akibat stigma dan sikap diskriminatif terhadap aspek kesehatan jiwa khususnya penderita dan institusinya. Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa individu yang sakit jiwa adalah aib dan memalukan, tidak bermoral bahkan tidak beriman. Stigma ini amat sangat merugikan bagi individu dan institusi yang berwenang di dunia kesehatan jiwa. Tidak jarang hak asasi individu dengan gangguan jiwa juga terlanggar akibat stigma dan sikap diskriminatif tersebut. Hal ini terbukti pada fenomena caleg dan rumah sakit jiwa ini. Masyarakat dan media pasti akan bersikap berbeda jika rumah sakit jantung – misalnya – mengutarakan bahwa telah banyak merawat caleg. Lalu apa bedanya antara penderita jantung dengan penderita gangguan jiwa? Mengapa terdapat stigma terhadap caleg yang mungkin berpotensi menjadi gangguan jiwa?

Mengapa individu bisa mengalami Gangguan Jiwa ?

Jika dilihat dari sudut pandang kedokteran semua penyakit mempunyai etiologi atau penyebab yang sama yaitu faktor biologis, psikologis dan sosial. Seseorang yang mempunyai kecenderungan atau mempunyai risiko penyakit jantung secara genetik/biologis maka akan betul-betul menjadi sakit jantung bila life style -nya buruk, misalnya merokok, obesitas , ambisius/work alcoholic dll. Individu tersebut bisa menjadi sakit jantung jika terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara bakat genetik ditambah dengan faktor psikososial (life style dsb). Analog dengan contoh diatas maka penderita gangguan jiwa juga disebabkan oleh faktor genetik/biologis, psikologis dan lingkungan sosialnya. Jadi tidak benar bahwa individu yang mengalami ganguan jiwa hanya semata-mata karena faktor psikologis saja atau bahkan sampai stigma bahwa individu tersebut tidak bermoral atau kurang beriman. Karena pada dasarnya gangguan jiwa sama dengan penyakit fisik, misalnya pada individu yang cemas atau depresi, maka pada diri individu tersebut terdapat ketidakseimbangan neurokimiawi di sistem otaknya. Dengan demikian individu dengan gangguan jiwa juga sama membutuhkan obat untuk memperbaiki neurokimiawi di sistem otaknya. Teori ilmu kedokteran jiwa mutakhir bahkan mengatakan bahwa gangguan jiwa adalah “ brain disease’ , sehingga tidak ada perbedaan antara individu gangguan jiwa dengan individu yang sakit – misalnya -darah tinggi atau jantung. Mereka sama-sama individu yang secara medis kedokteran mengalami gangguan kesehatan.

Upaya Pencegahan

Dalam dunia kedokteran kita telah sama-sama mengenal falsafah “lebih baik mencegah daripada mengobati”, falsafah ini juga sama berlakunya di bidang kedokteran jiwa. Jadi jika kita kembali ke awal permasalahan tentang caleg, maka sebenarnya IDI dan KPU telah membuat sebuah kesepakatan dan sistem untuk melaksanakan upaya pencegahan terhadap potensi gangguan kesehatan terhadap para caleg. Upaya itu adalah melalui serangkaian tes kesehatan yang salah satu diantaranya adalah tes kesehatan jiwa. Melalui tes ini berguna untuk mengetahui adanya kecenderungan seseorang dapat mengalami gangguan jiwa jika menghadapi stressor/tekanan yang berat akibat pekerjaannya. Tes ini juga telah lazim digunakan pada serangkaian tes bagi berbagai pekerjaan yang menuntut kesehatan jiwa yang prima, seperti pilot, praktisi hukum, praktisi medis dan berbagai profesi lainnya. Sehingga secara medik psikiatrik jika individu yang telah lolos dalam tes maka individu tersebut tidak mempunyai kecenderungan mengalami gangguan jiwa akibat pekerjaannya. Namun upaya tersebut hanyalah semata usaha manusia dalam mencari individu yang tepat dan sesuai dengan pekerjaannya (fit and proper), sehingga jika dalam perjalanan pekerjaan/profesinya individu tersebut menjadi sakit baik fisik maupun jiwa, hal tersebut bisa saja terjadi dikarenakan banyaknya faktor yang terkait terhadap status kesehatan seseorang (faktor biologis, psikologis dan sosial).

Akibat Stigma

Kembali kepada pokok permasalahan tulisan ini, akibat adanya pemahaman yang keliru/stigma terhadap penderita gangguan jiwa dan terlebih lagi rumah sakit jiwa, adalah salah satunya muncul opini tentang adanya kesan menghina kepada para caleg jika gagal meraih kursi akan berpotensi menjadi “gila” . Media dan masyarakat menanggapinya dengan berbagai sudut pandang dan kepentingan, ada yang prihatin bahkan sampai ada pula yang menggunakan sebagai ajang menyudutkan para caleg yang mereka anggap banyak berperilaku negatif sehingga memang sepantasnya “di rumah sakit jiwa”-kan.
Kondisi ini semakin memperparah stigma dan diskriminatif terhadap saudara-saudara kita yang kebetulan mengalami gangguan jiwa. Mereka dan keluarganya akan semakin menarik diri dan menyembunyikan kondisinya karena malu kepada lingkungannya. Hal ini jelas akan sangat merugikan, karena jika tidak diintervensi medik secara tepat, maka bukan tidak mungkin akan mengakibatkan hilangnya nyawa akibat bunuh diri, akibat depresi atau kondisi lain yang membuat kualitas hidup individu tersebut menjadi memburuk akibat penanganan yang tidak optimal. Semoga saudara-saudara kita para caleg benar-benar berada dalam kondisi kesehatan jiwa yang prima, sehingga dapat menyambut hasil pemilu dengan sikap ” siap menang dan siap kalah”, sehingga dengan demikian insya Allah kita akan semakin optimis menuju bangsa yang sehat jiwanya. Amin.

 

Agung Frijanto
Psikiater RS Jiwa Soeharto Heerdjan/Dosen FK Univ.YARSI