Posted by Administrator | Kategori: Psikoterapi

Catatan dari Diskusi Kasus Seksi Psikoterapi 18 Mei 2023

Manusia membutuhkan liyan (others) yang rela sejalan dengannya. “Diri”, ego, dan self, masing-masing terkait dengan periode kesejarahannya sendiri, tidak serta merta mengusung gagasan yang sama. Namun ketiga-tiganya mewakili suatu perasaan atau penghayatan pada manusia, bahwa ia ada. Rasa “ada” ini disertai rasa “punya kuasa, dapat mengontrol”, betapapun nisbinya. Carolyn Ellman dan Joseph Reppen, dalam Fantasies and the Vulnerable Self (1997), membahas betapa keberadaan manusia tidak lepas dari fantasies of omnipotence, mimpi serba berkuasa, yang ia perlukan karena sejak lahir tak berdaya dan mengalami bergantung pada pihak lain untuk dapat melanjutkan kehidupan. Tindakan berulang melukai tubuh secara terbatas, yang dilakukan oleh seorang perempuan yang meminta bantuan psikiater, dapat menjadi penggelaran pengalaman “diriku ada, punya kuasa atas diri sendiri”, yang diperlukan untuk sejenak menepis derita dari “diriku tiada dan semuanya hanya hampa”.

Perkara ini sudah dibahas oleh Sigmund Freud dalam Introductory Lectures on Psychoanalysis yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1917. “Where ‘id’ was, there ‘ego’ shall be”, ungkap Freud. Pelopor psikoanalisis itu menggunakan kata “id”, bukan Ich dalam Bahasa Ibu beliau, karena ia bermaksud mengemukakan ihwal “orang hadir dengan biologinya”. Maka, “Where id was, there ego shall be” artinya: setiap kali manusia dengan biologinya hadir, di sana terjadi upaya menjadikan diri “ada”; diri yang betapapun relatifnya memiliki sebagian dari kuasa. Jacques Lacan pada tahun 1966 mengucap-ulangkan ungkapan Freud. Kata Lacan: “Where ‘it’ was, there shall ‘I’ be”. Diksi “I” tidak jauh dari “diri” dalam Bahasa Indonesia.

Perempuan dalam usia awal tiga puluhan tahun itu mungkin “terancam kehilangan ego”. Atau tidak meraih self yang mantap. Rentan dan rapuhnya self pada pasien ini pun seperti dinyatakan dalam gejala “merasakan dirinya ada dua, atau mengandung dua sisi, dua hal, yang berbeda, tidak koheren, tak sejalan, yang bisa menjadi berlawanan satu sama lain; satu mendukung dan lainnya mencerca”. Sang ibu, pengasuh utama, menduduki diri anaknya, sampai hampir tidak “ada” lagi. Ibu yang dominan itu menggunakan diri anaknya untuk mewujudnyatakan keinginan, cita-cita, impian, bahkan menyalurkan masalahnya sendiri. Allan Schore (1994) mengulas keadaan seperti ini sebagai salah satu trauma perpautan (attachment trauma) yang paling parah. Neuropsikoanalis ini menyebut kondisi ini sebagai abuse, yang bersama neglect merupakan dua jenis trauma terberat.

Cikal bakal “diri” adalah suatu fantasy (Grossman, 1982), atau suatu wish-fulfilling belief (Schafer, 1976), yang alamiah saja terdapat dalam kehidupan manusia, bahkan sejak masa belia. Bukankah “id” memang mengulum mimpi, keinginan, yang tidak realistis? Pada pemikiran-pemikiran ini, hingga konsep ego-nya Freud, “diri” dianggap berkembang dalam si manusia seorang, di dalam psike seseorang, intrapsikis. Namun Georg Hegel, seputar seabad sebelum Freud, sudah memulai dengan pandangan maju bahwa “diri” hanya menjadi ada dan bertumbuh kembang karena ia bersama liyan. Ia bukan intrapsikis melainkan relasional, interpersonal, intersubjektif. Para pelopor yang melanjutkan Freud, antara lain Melanie Klein (1932) dan Donald Winnicott (1956) mengetengahkan teori-teori object relations, dan Heinz Kohut (1970) mempresentasikan “psikologi psikoanalitik tentang self”, mereka meyakini betapa “diri” manusia ada dan bertumbuh kembang dalam relasi dengan liyan yang mau sejalan dengannya, memvalidasi dia, me-mirror segenap perasaan dan pengalamannya. John Bowlby (1969; 1972; 1980) melukiskan “diri” menjadi ada dan bertumbuh kembang dalam naungan relasi perpautan aman, secure attachment relationships, antara bayi atau anak dengan pengasuh utamanya yang mampu dan telaten meregulasi afeknya yang mengancam dirinya yang rentan. Lantas, Allan Schore, dkk. (1994; 2020) melukiskan “psikologi dua insan”, two-person psychology, sebagai paradigma yang mengutamakan peran relasi dekat dua insan dalam pusaran kehidupan psikologis manusia, antara lain ditandai sinkronisasi hemisferium kanan seseorang dan hemisferium kanan liyan.

Bagi penulis, membantu perempuan yang menderita itu dalam psikoterapi, terutama adalah memasuki jalan afektif yang ditapakinya, di sana mendayagunakan peluang untuk mengejawantahkan pengalaman dalam relasi dua orang—pasien dan terapis— yang menumbuhkembangkan dan menguatkan self. Terutama mirroring, terutama sekali untuk pengalaman-pengalaman emosionalnya. (Limas Sutanto)