Posted by Administrator | Kategori: Psikoterapi

Pentingnya Mendalami Relasi Nirkata

Sejauh relasi pasien dan terapis dilaksanakan melalui dialog yang mengandalkan kata-kata, hemisferium kiri, yang memang bertugas memproses kerunutan atau keberurutan simbol-simbol (dalam hal ini, kata-kata), berperan dominan. Namun berelasi verbal itu sekaligus mengandung aktivitas memaknai arus kata, frasa, kalimat, dan susunan bahasa yang lebih besar lagi. Dialog linguistik tidak semata-mata perkara menyusun kata dan kalimat dengan gramatika yang benar, tetapi juga meraih makna, atau beraktivitas memaknai di tengah relasionalitas yang dalam kenyataannya banyak melibatkan ekspresi nonverbal.

Penelitian Noordzij et al. (2009) menunjukkan, sewaktu aktivitas memaknai demikian itu berlangsung, terjadi keaktifan simultan pada bagian-bagian otak sepadan pada kedua insan yang berelasi, terutama yang spesifik adalah pada PSTS yang kanan (right posterior superior temporal sulcus).
Kendatipun dua insan berdialog dengan bahasa (misalnya mereka adalah pasien dan terapis), yang terlibat intens bukan hanya hemisferium kiri. Belahan otak kanan juga berperan serta secara signifikan. Sesungguhnya dalam sebuah relasionalitas, aktivitas memaknai bukanlah semata-mata bersandar pada pengungkapan diri yang terjamin representatif melalui produksi urutan kata dan kalimat yang logis, melainkan pula dengan memerhatikan pengungkapan diri melalui ekspresi-ekspresi bukan kata, baik yang bersifat visual facial , auditory prosodic , maupun yang tactile gestural . Hal ini menegaskan betapa relasionalitas pasien dan terapis bukanlah hanya aktivitas logis linguistik hemisferium kiri, melainkan pula pengalaman keterhubungan nirkata, nonverbal, yang mendayagunakan hemisferium kanan.

Bahkan apabila ditinjau dari ihwal perlunya efek terapeutik, proses-proses psikoterapi yang melibatkan hemisferium kanan lebih penting daripada yang mengenai hemisferium kiri, karena kondisi psikopatologis sebagian besar berakar dalam masa kehidupan dini, setidak-tidaknya dalam kurun waktu kehidupan dalam kandungan hingga dua tahun pasca-kelahiran. Pada masa tersebut, hemisferium kanan mengalami perkembangan alamiah yang pesat (growth spurt), dan menjadi bagian otak yang berperan dominan. Peran hemisferium kiri baru akan menyusul pada saat anak berusia seputar dua tahun. Pengalaman-pengalaman psikopatologis yang berlangsung dalam kurun waktu kehidupan dini itu terutama menyasari hemisferium kanan. Maka, Schore (2019) memaknai proses psikoterapeutik secara mendasar sebagai pengubahan terapeutik hemisferium kanan.

Namun relasi nonverbal sepertinya kurang diperhatikan selama ini dalam psikiatri. Mungkin karena titik berat pelayanan psikiatrik adalah mendiagnosis secara deduktif kemudian meresepkan farmaka. Agaknya psikolog klinis lebih rajin dan tekun mempelajari relasi nirkata dan berusaha menerapkan pengetahuan tentang relasi nonverbal dalam pelayanan klinis mereka. Di seputar 10 Oktober 2023 penulis membaca sebuah artikel pada harian Kompas tentang demokratisasi psikoterapi yang ditulis oleh seorang psikolog yang sedang studi doktoral di negara Barat maju. Pada tulisan yang bagus itu disebutkan bahwa “menurut undang-undang, psikoterapi hanya boleh dilaksanakan oleh psikolog klinis”. Kekagetan yang sempat merekah, terobati oleh tulisan lain yang menyusul, pada koran yang sama, yang dikarang oleh psikolog lainnya. Dalam tulisan tersebut disampaikan sebuah koreksi, bahwa yang dimaksud adalah “dalam kalangan psikologi, psikoterapi hanya boleh dilaksanakan oleh psikolog klinis”. Di situ diterangkan pula bahwa psikiater pun boleh melakukan psikoterapi.

Fenomena transferens dan kontratransferens adalah typical examples pengalaman emosional nirsadar yang terutama melibatkan peran hemisferium kanan.
Kedua peristiwa tersebut dimengerti dalam kesetangkupan: transferens-kontratransferens.

Pada masa awal psikoanalisis Freudian klasik, kedua pengalaman itu cenderung dianggap sebagai “peristiwa kontraterapeutik”, karenanya, kedua-duanya “harus dikritik, dikoreksi”, seolah pasien dan terapis perlu “bersih dari transferens dan kontratransferens” demi bisa meneruskan proses terapi.

Pandangan tersebut berakar dalam filsafat Cartesian yang membuahkan anggapan dalam psikologi dan psikoanalisis masa awal, bahwa psike adalah “entitas bersendiri”. Psikologi adalah one person psychology, dan pengalaman adalah “peristiwa intrapsikis semata-mata”.

Namun perkembangan pesat dalam neurosains, developmental psychology, affective neuroscience, dan infant research telah membimbing psikologi dan psikoanalisis buat memahami bahwa psike itu relasional, penghayatan emosional dan psikis itu sebuah “fenomena dua insan”, bahkan merupakan fenomena sosial, dan psikologi itu bukan one person psychology, melainkan two person psychology. Pada perspektif terakhir, psikoterapi dimengerti sebagai peristiwa relasional dua insan, atau beberapa orang dalam kelompok, yang memberikan pengalaman-pengalaman keterhubungan dekat baru (new attachment experience) yang diharapkan dapat menggantikan atau mengurangi pengaruh dari hubungan-hubungan dekat lama yang patologis.

Eksternalisasi pengalaman-pengalaman dekat lama yang patologis antara lain terjadi melalui transferens pada pasien, yang berpeluang besar membangkitkan kontratransferens pada terapis. Tidak jarang kontratransferens ini tidak terelakkan. Kini ia diterima justru sebagai sebuah pengalaman pada terapis, yang lebih memungkinkan dirinya mengerti transferens pasien. Karena itu, dapat dikatakan, beruntunglah pasien-terapis yang mendapati diri mereka berada dalam pengalaman transferens-kontratransferens, karena di sana terungkaplah secara hidup (lively) pengalaman relasional dekat tempo dulu (di masa kehidupan awal), yang menjadi salah satu akar simtom-simtom, kelemahan, dan maladaptasi pasien di masa kini.

Benar, di tengah pengalaman transferens-kontratransferens, layaknya terapis (yang diasumsikan cukup baik berlatih dan dilatih) mengawali tindakan keluar dari kontratransferens, dengan kesadarannya mengembalikan dirinya ke realitas kini dan di sini, dan kembali memosisikan diri sebagai terapis yang membantu pasien untuk meraih kesembuhan. Dalam posisi yang “kembali berpijak di bumi”, terapis lebih dulu melerai afek yang mengacaukan dirinya, melakukan self affect regulation, kemudin ia akan melerai buncahan-buncahan afek yang berkecamuk dalam diri pasien di tengah transferens. Transferens adalah saat-saat terapeutik, yang memanggil terapis buat menjalankan perannya yang cukup baik sebagai affect co-regulator bagi sang pasien.
(Limas Sutanto)