Posted by Administrator | Kategori: Psikoterapi

Hati Nurani

Mengapa manusia dapat seperti “sebegitu percaya diri untuk melanggar hukum dan menyalahgunakan kekuasaan”? Manusia dapat mengalami omnipotensi. Semacam kepercayaan ilusif dan delusif bahwa diri sedemikian berkuasa, dan karenanya akan aman-aman saja dalam menggunakan kekuasaan dengan cara apa pun.
 
Semula adalah karya-karya tulis Melanie Klein yang dihasilkan dalam kurun waktu 1946-1963. Di sana Klein mengetengahkan betapa moralitas bertumbuh dari “posisi depresif” yang diresapi rasa bersalah, yang mekar sesudah manusia belia mengalami dirinya yang ultraagresif terhadap liyan dan dunia telah membuahkan banyak kerusakan. Maka bagi peneliti psikoanalisis kelahiran Austria itu, kejujuran untuk mengakui dan mengalami rasa bersalah depresif sungguh merupakan hal genting yang perlu ada demi berkembangnya kehidupan beradab.
 
Pada tahun 2005, psikolog Amerika, Rachel Peltz, menyampaikan kekhawatirannya terhadap keadaan masyarakat masa kini yang ditandai _compulsive consumption_ yang menghilangkan kepekaan terhadap rasa bersalah depresif. Psikolog Amerika lainnya, Neil Altman, pada 2010 menindaklanjuti pemikiran Peltz dengan mengutarakan keprihatinan tentang masyarakat hari kini yang diresapi “keadaan manik”—ia menyebutnya, _the manic society_—yang disangga oleh bekerjanya tiga defensi utama: _denial_ atau pengabaian terhadap realitas psikis, terutama terhadap _depressive guilt_ atau rasa bersalah depresif; omnipotensi; dan identifikasi projektif atau kecondongan menyalahkan, mengambinghitamkan liyan dan dunia.
 
Pemikiran-pemikiran psikoanalitik itu menggambarkan betapa keberadaan penguasa yang sewenang-wenang merupakan hasil interaksi keadaan masyarakat dan diri sang penguasa. Tidak banyak harapan untuk terjadinya perubahan spontan pada masyarakat menuju kehidupan yang menjauhi konsumsi kompulsif. Beberapa tahun pandemi Covid-19 yang sangat mengerikan pun “sebentar saja” meredupkan nafsu konsumtif, segera disusul dengan kembalinya kehidupan konsumtif, eksploitatif, ekstraktif, yang ingar bingar. Di sisi lain, pengaruh pribadi pemimpin dan penguasa bisa sangat besar. Pemimpin dan penguasa yang menciptakan dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang hati-hati, inklusif, adil, bijak, karena semuanya dilakukan dengan mengindahkan rasa bersalah yang sesungguhnya senantiasa tersedia dalam psikenya, akan mendorong masyarakat untuk mengikutinya. Namun jika yang diejawantahkan pemimpin dan penguasa adalah kebalikannya—mereka mengabaikan rasa bersalah dalam diri, menjadi makin omnipoten, dan suka menyalahkan serta mengambinghitamkan orang-orang dan hal-hal di luar diri mereka—yang terjadi adalah masyarakat dengan kerusakan keadaban yang mengerikan. Hal terakhir ini menjadi keprihatinan semua warga biasa yang masih memiliki kejujuran dan kepekaan terhadap rasa bersalah depresif. Mungkin dalam _depressive guilt_ itu bersumber hati nurani. 
 
Dalam psikoterapi, kepekaan terapis terhadap rasa bersalah depresif, sedemikian penting. Pengalaman menunjukkan, saat-saat menyampaikan interpretasi tidak jarang ditandai mekarnya _depressive guilt_ dalam diri terapis, terutama apabila penafsiran yang ia sampaikan telah berpengaruh kontraterapeutik. Terapis yang mau menanggapi rasa bersalah depresif akan terselamatkan dari kekeliruan yang lebih besar, dan terbimbing untuk tetap berada dalam jalan yang terapeutik.
 
By: Limas Sutanto.