Posted by Administrator | Kategori: Umum

Menjaga Harapan di Masa Krisis: Peran PDSKJI dalam Pemulihan Psikologis Pascabencana

Bencana alam selalu meninggalkan jejak yang tidak hanya terlihat pada kerusakan fisik, tetapi juga pada kondisi psikologis para penyintas. Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, reaksi stres akut menjadi respons alami yang muncul segera setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis seperti banjir, longsor, atau kehilangan mendadak. Gejalanya dapat bermacam-macam—mulai dari ingatan traumatis yang berulang, mimpi buruk, kilas balik, hingga distress ketika terpapar pemicu tertentu. Banyak penyintas juga merasakan perasaan hampa, keterlepasaan dari diri sendiri, gangguan tidur, kewaspadaan berlebihan, mudah terkejut, hingga usaha menghindari hal-hal yang mengingatkan pada kejadian traumatis. Menurut DSM-5, reaksi ini dapat berlangsung dari tiga hari hingga satu bulan setelah kejadian, dan bukan jarang menyebabkan gangguan nyata pada kehidupan sehari-hari.

Dalam kondisi seperti ini, pendampingan awal melalui Psychological First Aid (PFA) menjadi sangat penting. Pendekatan PFA menggunakan tiga langkah—LOOK, LISTEN, dan LINK—yang membantu penyintas mendapatkan rasa aman, ruang untuk mengekspresikan diri tanpa tekanan, serta akses pada layanan medis maupun dukungan lanjutan. Pendekatan ini sederhana, namun menjadi fondasi bagi proses pemulihan psikologis, terutama di masa-masa paling awal setelah bencana.

Komitmen terhadap kesehatan mental inilah yang secara konsisten dipegang oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI). Melalui Tim Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS), PDSKJI terus hadir di tengah masyarakat yang terdampak bencana di berbagai wilayah Indonesia. Di Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, misalnya, tim dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara bersama PDSKJI Sumatera Utara memberikan pelayanan terpadu di lokasi pengungsian, bekerja berdampingan dengan Posko Kesehatan RSUD Tanjung Pura. Tim yang bertugas tidak hanya menangani keluhan fisik seperti diare, batuk, demam, penyakit kulit, dan luka ringan hingga sedang, tetapi juga fokus pada pemulihan psikologis warga yang mengalami dampak emosional pascabencana. Konseling krisis, pendekatan suportif, psychoeducation, serta penguatan coping diberikan kepada anak-anak maupun orang dewasa, dilakukan secara personal maupun kelompok sesuai kebutuhan penyintas. Dalam waktu yang sama, tim juga menyalurkan bantuan logistik berupa bahan pangan dan kebutuhan harian, memastikan bahwa dukungan yang diberikan bersifat komprehensif dan manusiawi.

Di berbagai wilayah lain, komitmen tersebut tidak surut meski medan semakin menantang. Di Sumatera Barat, listrik padam total dan sungai meluap akibat hujan deras, namun Tim DKJPS PDSKJI tetap masuk ke wilayah Sungai Landia, Kabupaten Agam, untuk menyalurkan donasi dan memberikan pelayanan psikososial. Di Aceh Tengah, tim bekerja sama dengan IDI dan Dinas Kesehatan setempat dalam mendampingi para pengungsi yang mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan tidur pascatrauma. Tantangan logistik tidak ringan—akses darat terputus, transportasi terbatas, obat belum mencukupi, dan bantuan harus dikirim melalui jalur udara menuju Takengon. Namun semua itu tidak menghentikan langkah tim dalam memastikan bantuan kesehatan mental tetap menjangkau mereka yang membutuhkan.

Di tengah perjuangan masyarakat Aceh Tengah, longsor besar pada 8 Desember 2025 menutup jalur utama Lhokseumawe–Bener Meriah–Takengon. Beberapa titik putus total, distribusi logistik terganggu, dan warga terpaksa harus mencari bahan bakar dengan melewati jalur longsor secara manual. Sementara di Kampung Toweren, banjir bandang membawa lautan kayu besar yang menutup akses dan menghambat aktivitas warga. Meski medan berat dan penuh hambatan, pelayanan kemanusiaan terus dilakukan oleh tim di lapangan. PDSKJI bersama tenaga medis dan masyarakat setempat berkoordinasi untuk tetap memastikan bantuan kesehatan mental dan kebutuhan dasar dapat menjangkau setiap penyintas yang terdampak.

Semua upaya ini menjadi bukti nyata bahwa komitmen PDSKJI terhadap kesehatan mental masyarakat bukan sekadar wacana, tetapi tindakan yang hadir di lapangan, di tengah lumpur, hujan, jalan terputus, dan kondisi yang jauh dari ideal. PDSKJI memahami bahwa kesehatan mental adalah bagian tidak terpisahkan dari kesehatan secara keseluruhan, terutama di tengah bencana. Pendampingan psikologis bukan hanya memberikan rasa nyaman sementara, tetapi membantu penyintas menemukan kembali rasa aman, harapan, dan ketahanan diri untuk bangkit dari pengalaman traumatis.

Di setiap langkah yang ditempuh, PDSKJI membawa pesan bahwa kemanusiaan tidak mengenal batas maupun jarak. Setiap tindakan kecil, setiap sesi konseling, setiap edukasi, setiap bantuan medis, dan setiap logistik yang disalurkan merupakan wujud kepedulian kolektif untuk mendukung pemulihan masyarakat. Harapannya sederhana namun mendalam: agar para penyintas mampu bangkit dengan kekuatan baru, dan agar kesehatan mental menjadi bagian penting yang selalu diperhatikan dalam setiap respons bencana di Indonesia.

(LAPL – Humas PP PDSKJI)