Posted by Administrator | Kategori: Psikoterapi

Integrasi dan Sintesis dalam Psikoterapi, Bukan Tabu

Membaca Melanie Klein belum kelar, masih akan diteruskan; tetapi proses berasosiasi, dan datangnya pengalaman menarik, seperti mengajak sejenak menyimpang. Ingin mengucapkan serba sedikit tentang integrasi dan sintesis aneka pendekatan psikoterapeutik.

Mungkin pada penghayatan yang agak lanjut, “menggabungkan” beberapa teknik psikoterapi dari mazhab yang berbeda-beda, terutama demi mengejawantahkan peran faktor-faktor umum (common therapeutic factors) dengan lebih baik, bukan tabu. Sepertinya memerlukan sebuah posisi metateoretis, “mengatasi teori-teori”, untuk pengambilan pandangan yang bagaikan menggunakan mata unggas yang sedang terbang di atas permukaan bumi, bird’s eye view, atau in view of people flying in a helicopter. Semacam mengalami realitas dengan berada agak jauh di atasnya, menggunakan teori-teori buat kesejahteraan psikis pasien, bukan dalam piciknya kepuasan mengunggulkan semata-mata sebuah ancangan atau mazhab tertentu.

Sebuah teladan yang sering tergelar sebagai praktik, adalah mendalami motif tak terucapkan, yang bawah-sadar, pada pasien yang mengejawantahkan memikir dengan “kognisi terdistorsi”. Ihwal terakhir ini dibahas terperinci oleh Aaron Beck. Salah satunya, sebagai sebuah contoh, all-or-nothing thinking. David Burns mencontohkan seorang pasien yang sedang melaksanakan pengelolaan makan demi mengurangi obesitas, pada suatu hari menikmati sesendok makan es krim yang manis. Perbuatan ini memukul mood-nya, melahirkan anggapan-diri sebagai pecundang. Ia sedih sekali; dan di tengah murung berkepanjangan, dia justru menyantap es krim satu paket besar.

Terapi untuk pasien ini dilaksanakan dengan prosedur cognitive therapy dan cognitive behavioural therapy. Namun kreativitas terapis tidak membuat proses terapeutik berhenti di sana. Relasi terapeutik yang bagus ternyata telah memungkinkan berkembangnya transferens: pasien mengalami terapis bagaikan kembalinya ibundanya yang keras dan menerapkan perfeksionisme dalam memperlakukan pasien-belia di masa pengasuhan. Transferens yang diolah dan dilampaui secara psikoanalitik atau psikodinamik, melalui working through, interpretasi, dan relasi terapeutik yang dirawat serta dioptimalkan dengan tinjau-ulang, ternyata menguatkan bantuan buat pasien untuk menjalani CT atau CBT yang berhasil. Kedua terapi terakhir berlangsung dengan latar kesadaran pasien tentang perfeksionismenya dan upayanya buat mengatasinya. Terapis telah melaksanakan prakarsa kreatif mengintegrasikan secara technical antara CT, CBT, dan terapi psikoanalitik, psikodinamik; menciptakan sebuah psychoanalytically-informed CT, CBT. Bisa saja ini merupakan sebentuk layanan yang lebih bermutu bagi pasien.

Sebuah praktik yang lain, solution-focused therapy yang dipelopori oleh seorang terapis Korea yang bermukim di Amerika Serikat, Insoo Kim-Berg, diterapkan dalam sintesis dengan psikoanalisis. Justru hal ini dimulai ketika pandangan filsafat yang berada di balik masing-masing pendekatan psikoterapeutik disaksikan dengan bird’s eye view, mencetuskan inspirasi tentang sintesis filsafat antropologis Timur dan Barat. Agaknya Kim Insoo sebagai insan yang dilingkupi budaya negeri leluhurnya, membawa fisafat kemanusiaan Timur yang tidak melihat manusia sebagai korban, seperti dalam relasi agresor yang dominan dengan korban yang submisif yang banyak terkandung dalam visi filsafat antropologis Barat.

Psikoanalisis sebagai teori dan praktik dari Barat sesungguhnya tidak terlepas dari filsafat antropologis yang melihat manusia yang aslinya berada di tengah ketegangan konfliktual. Semisal, suasana “peperangan” tiada akhir antara ego dengan id dari dalam, serta dengan superego dari luar, ditambah pertentangan abadi antara id dan superego, sungguh menempatkan insan, ego, di tengah medan pertempuran dengan relasionalitas dominasi-submisi, agresor-korban, yang abadi. Pasien yang menjadi depresif di tengah relasi dan lingkungan, barangkali layak menjalani terapi psikoanalitik untuk pemerkuatan ego atau ego strengthening. Namun solution-focused therapy dapat meningkatkan mutu proses terapeutik ini, antara lain dengan penerapan salah satu tekniknya yang disebut “pertanyaan mukjizat”, miracle question. Sebuah teknik yang dapat lahir pada latar filsafat Timur yang tidak melihat manusia berada dalam relasi konfliktual yang menempatkannya sebagai korban. Teknik “mengajukan pertanyaan mukjizat” hadir karena pandangan relasionalitas sebagai keseimbangan dan harmoni, yang senantiasa mengundang manusia buat melakukan penyeimbangan kembali tatkala harmoni terganggu. Keadaan depresif yang membuat pasien senantiasa pesimis, sedih, kehilangan pengharapan, dihadapi oleh terapis dengan bertanya kepada pasien: apa yang sekiranya akan terjadi pada dirimu, takala di suatu pagi yang cerah, bangun tidur dan mengalami segala sesuatu dalam perasaan yang optimis, gembira, kaya pengharapan, yang sedemikian bagus? Teknik yang menggulirkan atau mendukung proses ego strengthening ini tidak dicetuskan semata-mata dengan cara psikoanalitik yang mengandalkan interpretasi atas yang nirsadar, tetapi dari keyakinan bahwa keadaan depresif adalah sebuah kondisi tidak seimbang yang mengundang insan, pasien, untuk melakukan penyeimbangan kembali. Miracle question mengandung motivasi untuk melakukan rebalancing. Barangkali ini sebuah perjalanan menuju psychoanalytically-informed solution-focused therapy.

Limas Sutanto