Posted by Administrator | Kategori: Psikiatri Forensik

Kesehatan Jiwa, Psikiatri Forensik, dan Reformasi Hukum Pidana di Indonesia: Menuju Kolaborasi Interprofesional

Penulis: dr. I Ketut Tirka Nandaka, SpKJ(K), SH, MM

Afiliasi: Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah

Email: nandakadrtirka@gmail.com

 

Abstrak

Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 2023 menandai titik balik penting dalam integrasi kesehatan jiwa, psikiatri forensik, dan hukum pidana di Indonesia. Pengakuan terhadap pembelaan gangguan jiwa, pengenalan langkah alternatif (tindakan) bagi pelanggar dengan disabilitas psikiatri, serta penekanan pada kolaborasi interprofesional mencerminkan pergeseran paradigma menuju sistem peradilan pidana yang lebih inklusif. Artikel ini mengeksplorasi keterkaitan kesehatan jiwa dan hukum dalam kerangka KUHP baru, menyoroti tantangan dan peluang bagi psikiatri forensik di Indonesia. Topik-topik utama meliputi pembelaan tidak mampu bertanggung jawab, pembelaan diri, navigasi sistem hukum bagi penyandang disabilitas mental dan intelektual, pendidikan interprofesional, serta keberlanjutan layanan psikiatri forensik. Implikasi praktis bagi aparat penegak hukum, hakim, dan tenaga kesehatan jiwa turut dianalisis, bersama dengan peran ilmu saraf dalam memitigasi risiko kekerasan. Artikel ini menyimpulkan dengan rekomendasi penguatan layanan psikiatri forensik melalui integrasi dengan sistem kesehatan nasional, pengembangan pelatihan profesional, serta peningkatan kolaborasi lintas profesi. Pendekatan interprofesional ini esensial untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang efektif dan manusiawi.

 

Kata Kunci

Kesehatan jiwa, psikiatri forensik, reformasi hukum pidana, kolaborasi interprofesional, Indonesia

 

Pendahuluan

Indonesia memasuki era baru reformasi hukum pidana dengan disahkannya KUHP tahun 2023. Reformasi ini memperkenalkan pendekatan progresif terhadap pertanggungjawaban pidana, khususnya bagi terdakwa dengan gangguan jiwa. Sebelumnya, peran psikiatri forensik kurang mendapat perhatian dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Dengan KUHP baru, ruang bagi pendekatan ilmiah dan kemanusiaan semakin terbuka, termasuk pengakuan terhadap evaluasi psikiatri forensik dalam proses peradilan. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis implikasi reformasiKUHP terhadap hubungan psikiatri forensik dan hukum pidana, serta peran kolaborasi interprofesional dalam mendukung keadilan yang inklusif.

 

Kerangka Teoretis dan Regulasi

Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada kapasitas individu untuk memahami kesalahan tindakannya dan mengendalikan perilakunya (Bartlett, 2018). Gangguan jiwa dapat memengaruhi kapasitas ini, sehingga menjadi dasar bagi pembelaan tidak mampu bertanggung jawab. KUHP 2023 sejalan dengan prinsip internasional, termasuk Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang menekankan kesetaraan di hadapan hukum (United Nations, 2006). KUHP yang baru juga memungkinkan hakim menjatuhkan tindakan rehabilitatif alih-alih hukuman penjara, selaras dengan prinsip keadilan restoratif.

 

Pembahasan

Pembelaan Gangguan Jiwa dalam KUHP Baru

Pembelaan tidak mampu bertanggung jawab (insanity defense) kini mendapat dasar hukum lebih jelas dalam KUHP. Psikiater forensik memiliki peran sentral dalam menilai kondisi mental terdakwa pada saat tindak pidana dilakukan, sehingga putusan pengadilan lebih berbasis bukti medis.

Pembelaan Diri dan Relevansinya pada Gangguan Persepsi

Pembelaan diri seringkali diperdebatkan, terutama pada terdakwa dengan gangguan jiwa yang memengaruhi persepsi ancaman. Penilaian proporsionalitas dan realitas ancaman memerlukan analisis psikiatri forensik yang cermat.

Navigasi Sistem Hukum untuk Penyandang Disabilitas Mental dan Intelektual

Penyandang disabilitas mental sering menghadapi diskriminasi dan kesulitan dalam proses hukum. Reformasi KUHP mendorong peradilan menyediakan pendampingan hukum, bahasa sederhana, dan pemeriksaan medis untuk menjamin akses keadilan.

Pendidikan Interprofesional dan Kolaborasi Ilmu Forensik

Kolaborasi efektif antarprofesi (psikiater, psikolog, kriminolog, aparat hukum) membutuhkan pendidikan interprofesional sejak dini. Hal ini akan meningkatkan pemahaman lintas disiplin dan memperkuat layanan psikiatri forensik.

Optimalisasi Tindakan Alternatif

KUHP memperkenalkan konsep tindakan, memungkinkan rehabilitasi psikiatri sebagai alternatif hukuman penjara. Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada ketersediaan fasilitas kesehatan jiwa dan mekanisme evaluasi yang jelas.