Posted by Administrator | Kategori: Psikoterapi

Mungkin ini Sekelumit Gambaran Penerapan Klinis Psikoanalisis Anna Freud

Moralitas di balik praktik klinis yang berinspirasi “psikologi ego” Anna Freud adalah perundingan, negosiasi, yang seadil-adilnya, antara tiga pihak: id, ego, superego, dengan analis atau terapis sebagai mediator humanis yang berempati dan mengerti.

Anna Freud menerangkan bahwa mekanisme defensi proyeksi acap kali berada dalam konteks psikopatologi berat, semisal delusi psikotik. Namun penelitian yang dilakukannya pada anak-anak menunjukkan bukti bahwa mekanisme defensi itu, bersama beberapa lainnya, terdapat di tengah perkembangan awal yang normal. Anak-anak biasanya “berupaya meninggalkan kenyataan yang menjengkelkan” (get rid of unwelcome facts) dengan mengabaikannya, sementara kemampuannya untuk menilai realitas tetap bagus. Ia mencatat, keberadaan tiga mekanisme defensi, yakni denial, proyeksi, dan introyeksi, pada orang-orang dewasa dapat menandai bahwa gangguan mental yang mereka alami berakar dalam masa perkembangan kanak-kanak awal.

Seorang pasien pria berusia empat puluhan tahun mengatakan bahwa tetangga yang tinggal di sisi kanan rumahnya sedang menyiapkan serangan kepadanya! Tetangga itu bersama istrinya sudah mengumpulkan batu dalam jumlah banyak. Nanti di tengah malam akan menghancurkan rumah pasien dengan hujan batu. Laki-laki dewasa yang berucap demikian, kemudian berencana mendahului melemparkan satu batu besar sebelum tengah malam, buat menghancurkan atap dan rumah tetangga yang dianggap sudah menyusun rencana jahat. Dalam kenyataan, kedua hal itu tidak pernah terjadi.

Rangkaian pikiran, perasaan, dan perkataan yang berbahaya itu tidak cukup hanya diberi label “paranoid” atau “delusi paranoid”. Mereka mengungkap betapa pikiran (beserta perasaan dan perkataan) dapat sedemikian berperan sebagai “instrumen manipulasi demi rasa aman” yang subjekif dan idiosyncratic. Sesungguhnya pria itu adalah insan yang takut. Secara mendasar id adalah keinginan dan ketakutan infantill, infantile wishes; infantile fear. Terdapat data yang mengabarkan bahwa ketakutan infantil pada laki-laki ini mungkin ada kaitannya dengan pengalaman kanak-kanak yang ia jalani bertahun-tahun bersama ibu yang otoriter dan menyiksanya. Rasa takut beriring dengan marah, sedemikian menandai khazanah afektifnya sebagai manusia dewasa. Dan ego menjadi terbiasa berada dalam posisi lemah. Yang menahan takut dan marah adalah superego yang menjadi kian kuat di tengah konstelasi id yang sesak dengan lingering fear and anger, dan ego yang tidak mendapatkan kesempatan berlatih di tengah impitan atmosfer otoritarian yang sepenuhnya di bawah penguasaan ibu.

Anna Freud menggambarkan keterlibatan yang luas dari proses-proses ego dalam seluruh wilayah fungsi kepribadian. Ia menetapkan ego itu sendiri sebagai sebuah objek penyelidikan psikoanalitik yang memiliki hak untuk dipelajari secara khusus. Fokus yang demikian, mengedepankan suatu pendekatan klinis yang lebih langsung menjumpai pasien; ia kurang menekankan pembongkaran rahasia tersembunyi; ia lebih banyak menaksir struktur psikis. Pada perspektif demikian, terapis mendekati ego dengan menghargai betapa proyeksi yang dilakukannya itu “bermaksud baik, penting, dan bermanfaat”, kendati ia membuahkan delusi paranoid yang dikenal sebagai bagian dari psikopatologi yang serius. Terapis memahami hal itu, dan tidak terutama mengkritik beradanya gejala ini pada pasien yang terbiasa lebih mengandalkan superego buat menahan id yang sarat ketakutan dan amarah. Pendekatan ini berperan besar dalam menumbuhkembangkan relasi terapeutik yang bagus. Para pelopor psikoanalisis relasional, antara lain Stephen Mitchell, Robert Stolorow, dan Donna Orange, meyakini bahwa mengalami berelasi terapeutik yang baik adalah sebuah faktor korektif bagi pasien yang menjadi paranoid karena pengalaman hubungan yang traumatis dengan ibu atau pengasuh utama di masa kehidupan awal. Sesungguhnya Heinz Kohut, pelopor self psychology atau psikologi psikoanalitik tentang self, pun memiliki keyakinan yang serupa.

Bertumbuhkembangnya aliansi terapeutik yang bagus juga lebih memungkinkan terjadinya transferens, sebuah pengalaman dini yang mengejawantah dalam pengalaman relasional kini, antara pasien dan terapis; laksana antara pasien di masa lalu tetapi dengan ibu atau pengasuh utama baru yang mampu mengoreksi pengalaman lama yang mengakari psikopatologi. Terapis sebagai tokoh baru bagi pasien, terutama di tengah transferens, akan berdialog humanistis dalam empati dengan pasien, untuk melerai id yang meledak-ledak dalam ketakutan dan amarah, kendati pada saat yang sama mengizinkan berlangsungnya ekspresi-ekspresi yang tidak berbahaya. Dengan sikap yang bijak, teutama dalam arti berjarak relatif sama dengan ketiga lembaga kepribadian, id; ego; superego, (Anna Freud menyebutnya sebagai_neutrality_), terapis melerai superego yang terlalu critical dan punitive. Dan ia berdialog dengan pasien tentang semua keseimbangan baru, terutama antara id dan superego, demi suatu pemerkuatan ego atau ego strengthening, yang membuka peluang untuk pengejawantahan mekanisme defensi lain di luar proyeksi yang hingga kini terbiasa dan mendarah daging. Pengubahan yang demikian ini berlangsung dalam realisasi pengalaman baru, terutama pengalaman hubungan kini yang berbeda dengan pengalaman yang lawas, kuno, archaic. Tidak terutama melalui pengajaran yang menggunakan bahasa verbal, penuturan, perkataan. Mungkin ini merupakan perubahan yang dapat sungguh mengubah.


Limas Sutanto.